 |
diambil dari fashiongonerogue.com |
Ketika saya membuka laptop, mata saya langsung
tertuju kepada desktop background model berbalutkan rancangan Giambatista Valli
pada Paris Haute Couture 2013. Saya termangu pada keindahannya. Dress hijau
lumut itu diberikan aksen pada leher dan sepanjang kaki jenjang model tersebut.
Saya berpikir bagaimana caranya seorang Valli bisa sekreatif ini? Atau terus
menerus sekreatif sekonsisten ini?
Saya tidak habis pikir. Perancang busana selalu
dituntut untuk berinovasi terus menerus. Mereka menciptakan karya sesuai
intepretasi masing-masing serta menyesuaikan selera pasar yang fluktuaktif. Pemikiran
saya sempat berkali-kali bergumam apakah akan ada saatnya ketidaksengajaan penciptaan
karya yang serupa antar desainer? Sebagai contoh kasus hak cipta sol merah Louboutin
yang pernah kita dengar. Bukankah ini semua hanya persoalan mengolah bahan
utama, selembar bahan, yang bisa membuat indah tubuh manusia? Apakah keadaan
ini masuk ke dalam fase kejenuhan, fase kosongnya ide atau fase apa?
Di
tengah-tengah kemajemukan kreativitas perancang busana Indonesia, saya selalu
berusaha menemukan ciri khas masing-masing. Saya yakin perbedaan itulah yang
menciptakan jati diri yang unik pada tiap-tiap perancang busana. Pernyataan itu
membawa saya kepada pertanyaan, jika saya seorang perancang busana, keunikan
apakah yang akan saya bawa? Kreativitas seperti apakah yang akan saya
kembangkan?
Mungkin
tulisan ini lebih banyak membahas mengenai saya dan cara berpikir saya tentang
mode. Saya masih awam mengenai mode maka harus banyak belajar. Saya telah
menghadiri beberapa pagelaran busana dan sekadar menjadi penikmat alias
penonton saja. Sering, saya ingin naik level dalam dunia mode, setidaknya mode
Indonesia. Entah menjadi perancang busana, reporter mode di majalah atau apa
saja asal saya bisa memberikan kontribusi bagi dunia itu. Saya juga masih
belajar mengenai budaya Indonesia dan berharap bisa memadupadankannya dengan
dunia mode. Budaya Indonesia memiliki potensi yang kaya untuk diolah dengan
kreativitas yang matang sehingga sedap dilahap segala pancaindera. Itulah mimpi
saya.
Terkadang
saya takut kehabisan gagasan untuk disajikan ke khalayak ramai. Misalnya dalam
menulis atau merancang sketsa saja saya sering berhenti pada suatu titik. Saya
masih banyak tidak tahu tentang bahan, material mode dan lain sebagainya. Saya
tidak bisa menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa membayar sekolah mode
yang memang cukup mahal. Ketidaktahuan memang seperti pisau bermata dua. Ia
bisa membuat kita berhenti berpikir dan benar-benar berhenti atau malah memacu
untuk mengeksplor pengetahuan lebih dalam. Kita tinggal memilih dua opsi
tersebut untuk menjawab.
Namun, apapun
kendalanya saya masih tetap memperjuangkan mimpi saya. Mengasah kreativitas,
membentuk jati diri yang solid dalam karya sendiri baik dalam rancangan maupun
tulisan, dan mungkin mencari celah untuk selalu mendapat tempat di industri
mode yang sangat ketat dengan cara yang positif adalah beberapa cara yang bisa
saya lakukan. Yang terpenting adalah berharap Tuhan memberikan saya kesempatan
untuk menjemput kesempatan yang ada. Karena berkontribusi dan menjadi saksi
tumbuh kembangnya dunia mode Indonesia adalah pekerjaan yang saya cita-citakan.